Tuesday, June 22, 2010

Apa Kabar Prancis, Inggris, Italia, Jerman

Andi Mastian, sahabat saya di Posko Pilkada Partai Golkar menyebutkan, ia ingin sekali melihat pemain dan official Tim Irlandia duduk di tribun penonton memakai seragam lengkap dan membentangkan spanduk besar bertuliskan "KAMILAH YANG SEHARUSNYA BERMAIN DI TOURNAMENT INI" pada saat Tim Nasional Perancis bertanding. Sungguh menurut saya itu bukan sekedar ungkapan kekesalan, namun lebih dari itu, mengambarkan kemarahan yang ammat sangat atas "ulah' Tierry Henry yang memasukkan bola ke gawang Irlandia pada saat babak play off Piala Dunia.

Sebenarnya para pemain Perancis memang tidak layak bermain di event akbar Piala Dunia, mereka sebaiknya duduk manis di depan TV sambil memamah Pop corn dan roti keju, sambil sesekali mengangkat gelas sampagne atau berlibur di kepulauan Karibia yang eksotis atau mungkin juga menikmati partai uji coba bersama klub yang membesarkan mereka di liga liga eropa.

Lihatlah bagaimana mereka bermain bola, sungguh bukan seperti Perancis yang kalah heroik di Final Germany 2006 dari Gladiator Marcello Lippi atau ketika membenamkan Raksasa Amerika Latin di Stade de France tahun 1998 lalu. Mereka memang ayam kinantan yang berubah menjadi ayam sayur, tidak ada pola bermain dan kebingungan.

Perancis hanya bergantung pada seorang Frank Ribery sebagai pengatur serangan dan Nicolas Anelka sebagai tukang pukul di lini depan. pasukan Raymond Domenech lebih mirip anak SSB daripada sekumpulan pemain bergaji mahal dan bermain di klub elit Eropa.

Tak ubahnya dengan Gladiatornya Marcelo Lippi, Pansernya Joachim Leow atau Singa singanya Don Capello.

Piala Dunia kali ini selain miskin gol, juga memberikan banyak kejutan. Siapa sangka Serbia yang kecil markucil itu bisa menjinakkan Miroslav Klose dan kawan kawan, atau anak anak Abang Sam yang lebih akrab dengan nyanyi rap dan basket malah bisa menahan imbang Inggris yang mengaku sebagai tanah lahirnya sepak bola.

Sungguh inilah pesta sepakbola dunia yang benyak memberikan kejutan, jadi jangan salah jika kemudian pasar taruhan kacau balau dan mata yang rela menahan kantuk menyumpah karena tim tim unggulan kalah atau bermain asal asalan melawan klub semenjana

Ini hanya sekedar catatan singkat yang mungkin tidak perlu untuk dipublikasikan apalagi untuk dibanggakan. Memang ini hanya sebuah catatan kecil yang tidak berarti, namun saya memaksakan diri untuk yakin bahwa catatan kecil ini mungkin akan ada gunanya bagi kita yang membacanya.

Waktu kecil Ibu mengajarkanku untuk tidak mudah melupakan hal hal kecil dalam hidup, dan bahkan sebaiknay dicatat agar suatu saat nanti ketika dewasa menjelang kita sudah mempunyai referensi yang lebih dari cukup untuk membuat sebuah keputusan dalam hidup.

Didikan lain yang aku rasakan dari ibu adalah bahwa kita harus selalu mendengarkan orang lain, meski yang disampaikan itu buruk, tetaplah dengar setiap ucapannya. "Hargai lawan bicaramu," itu yang selalu Ibu katakan.

Sesungguhnhya saya bukan pendengar yang baik, bahkan (mungkin) selalu mengantuk ketika orang lain bicara, bukan karena tidak menghargai, tapi memang begitulah adanya.

Namun dalam perjalanan panjang hidup yang hari ini digenapkan menjadi 34 tahun (tepatnya jam 10 pagi ini) saya mempunyai sebuah kenangan tentang penghapus tulisan yang terbuat dari karet padat berwarna pink, sebuah penghapus pensil yang unik, kecil, dan terletak di ujung pensil.

Saya merasa lebih bersyukur, di saat pertama kali masuk sekolah saya hanya dibekali Nenek dengan sebuah pensil dan sebuah buku bersampul biru dengan isi yang hanya 18 lembar saja. Pun itu nikmati bersekolah tanpa tas dan apalagi kotak pensil mahal seperti teman kebanyakan yang bersekolah di kota.

Maklum sejak kelas I SD hingga kelas III, saya tidak tinggal dengan Ibu serta tiga saudara saya yang lain di Padang, dengan alasan sederhana, saya harus dititipkan kepada Nenek. Maklumlah,sebagai anak lelaki pertama dari sekian turunan diatas saya, Nenek merasa paling berkepentingan untuk mendidik saya dari awal dan Alhamdulillah didikan keras, penuh disiplin dan dibumbui dengan sifat "pelit" itu saya rasakan sebagai sebuah anugrah yang tidak mungkin akan saya dapatkan dari pendidik lainnya.

Setiap hari saya bersekolah dengan berjalan kaki, di sebuah SD Inpres. Letak sekolah itu diatas bukit di sebuah desa yang bernama Bungo Tanjuang. Pada waktu itu tangan tangan kekuasaan begitu kuat mencengkram sehingga nama nagari kami yang tadinya bernama Lansano berubah menjadi nama Desa Bunga Tanjung yang berbatas sawah yang, sungai yang jernih dan bukit bukit kecil.

Kembali ke soal pensil, setiap nenek membelikan saya pensil baik karena hilang maupun habis, selalu saja di ujung pensil itu terdapar sebuah karet penghapus berwarna merah tadi dan telah siap sedia digunakan kalau terdapat kesalahan. Setiap kesalahan tulisan dengan pensil, saya selalu menggunakan karet merah yang terdapat di ujung pensil, dan bahkan kalau karet itu habis, saya masih bisa menghapusnya dengan karet gelang yang saya lilitkan di pangkal pensil itu.

Sedangkan beberapa teman, susah payah menghapusnya dengan tetesan ludah yang kemudian digosoknya dengan ujung jari. Bukannya malah menjadi bersih, malah membuat kotor karena kertas tiba tiba hitam dan bahkan kadang halaman buku di situ robek berlubang. Yang kreatif, memanfaatkan sisa

sandal yang telah afkir sebagai penghapus. Namanya alternatif, serba darurat, hasil hapusannya pun tak sebersih penghapus sungguhan. Ketika sekolah menenga pulpen. Tetapi kesalahan tetap saja terjadi. Yang kerap adalah salah menjawab soal waktu ulangan. Dan guru, tak mau melihat kertas jawaban penuh coretan. Mereka akan mendiskon nilai ulangan, yang jawabannya tak rapi lagi penuh coretan. Maka siswi - jarang sekali siswa - yang terkenal lengkap alat tulisnya adalah sasaran favorit untuk meminjam penghapus.

Jaman ini musimnya cairan penghapus yang warnanya putih pekat. Pertama kali keluar mereknya Tip-X dalam botol kecil. Cara memakainya disapukan seperti kuas. Kemudian muncul berbagai merek lain dan inovasi baru. Tak lagi seperti kuas yang sering bikin tangan belepotan, tapi ditekan seperti tube pasta gigi. Meskipun banyak merek baru, tetap saja disebut sebagai tip ex. Khasiatnya sama mujarab, menghapus kesalahan tulis yang mengganggu.

Kalau hari-hari adalah lembaran buku. Maka pikiran, ucapan dan tindakan adalah pensil atau bolpoinnya. Dalam sepanjang mata dan otak terjaga pensil itu berulang-ulang menulis dan menulis. Pasti dari sekian banyak huruf yang dituliskan, banyak terjadi kesalahan. Entah sadar atau tidak. Entah terketahui atau tidak.

Hari ini, almanak baru dibuka, menggenapkan usia yang sudah melebihi kepala tiga, usia yang sudah lagi memberikan kesempatan, ruang dan waktu untuk bertingkah laku sama seperti sebelumnya. Maafkan semua kesalahan dan terima kasih atas semua doa dan harapan kepada saya. Semoga di usia yang kian tua ini, semua harapan dan doa dapat dikabulkanNya. Amiin...

Salam hormat dan bahagia..

BOBY LUKMAN SUARDI PILIANG
Hasil Survey Sebagai Alat Propaganda Politik

Media cetak terbitan Padang pekan lalu merilis hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI) bahwa pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur Marlis Rahman - Aristo Munandar (MATO) memiliki tingkat elektabilitas tertinggi dibanding empat kandidat gubernur lainnya pada Pemilukada Sumbar, namun demikian, kemenangan MATO tidaklah terlalu signifikan sebab hanya terpaut sekian persen dibawahnya, pasangan Irwan Prayitno - Muslim Kasim berada di posisi kedua dan ketiga pasangan lain menyusul di posisi tiga, empat dan lima.

Tak lama berselang, media media yang sama kembali berlomba merilis hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga survey INCOST yang justru malah sebaliknya, pasangan Irwan Prayitno - Muslim Kasim sudah jauh leading dibanding empat pasang calon lainnya bahkan dengan perolehan suara yang memungkinkan pilkada cukup dilakukan satu putaran saja.

Saya tidak hendak mengomentari hasil survey, apalagi kemudian terjebak dalam bantah bantahan, sebab sebagai orang yang pernah terlibat dalam proses survey, saya faham betul, bahwa setiap hasil survey adalah buah dari sebuah pekerjaan akademik yang jelas dapat dipertanggungjawaban, sekali lagi dari sisi akademik.

Survey opini publik/jajak pendapat menjadi trend di Indonesia sejak tahun 2003 lalu, ketika trio Muhammad Qodari, Syaiful Mujani dan Deny JA mendirikan Lembaga Survey Indonesia. Pada perjalanannya kemudian hari, mereka bertiga menjadi motor bagi para ilmuwan politik lainnya untuk melakukan hal yang sama.

Sebelumnya, jajak pendapat opini publik dilakukan untuk kalangan internal dan tidak dipublikasikan, namun seiring dinamika politik pada waktu itu, hasil jajak pendapat disiarkan melalui media secara masif dan berkelanjutan hingga hari ini.

Survey atau jajak pendapat jelas tidak bisa dibantah bahkan dengan kalimat apapun, karena pekerjaan ini jelas mengacu pada teory dan data statistik yang sudah ada serta dilakukan dalam koridor ilmu yang secara ketat mengatur tentang metodelogi dan sistimatikanya.

Kembali ke berita di berbagai media lokal di Padang yang sudah dua kali merilis hasil survey dari dua lembaga berbeda, saya mengingatkan kita semua betapa pentingnya untuk mengetahui metode penelitian yang dipakai serta penarikan sampelnya. Selain kemudian mengetahui pula track record lembaga survey tersebut. Dalam direktori Asosiasi Lembaga Riset Opini Publik Indonesia (AROPI) saat ini tercatat puluhan lembaga survey berbagai skala pekerjaan aktif di Indonesia. Dan sudah tentu saja memiliki latar belakang berbeda.

Tidaklah sulit mendirikan lembaga survey, karena cukup dengan mengurus akta notaris lembaga, serta persyaratan administrasi lainnya, mempunyai analis politik dan ahli statistik, rasannya sudah cukup syarat untuk mendirikan sebuah lembaga survey.

Namun persoalannya, apakah setiap lembaga survey mempunyai analis politik dan ahli statistik yang dapat diandalkan ?, sebab dalam survey, kita menyatukan dua disiplin ilmu yang berbeda yaitu ilmu statistik dan ilmu sosial.

Iklan lembaga survey dan riset yang diterbitkan beberapa media harian terbitan hari Selasa dan Rabu pekan ini, lebih ditujukan untuk melakukan propganda politik atau menggertak lawan dalam sebuah pertarungan politik sambil mempeengaruhi opini pemilih agar beralih atau mengalihkan dukungan kepada calon yang didukungnya.

Sahkah ini ?, jelas sah sah saja, sebab dalam sebuah kampanye politik, sebuah attack campaign jelas dibolehkan. Saya setuju dengan iklan itu, namun tidak dengan hasil survey yang dirilis. Karena untuk mendapatkan responden sebanyak 7000 lebih seperti yang disebutkan, butuh biaya besar dan analisa yang komfrehensif serta tentu saja kita juga harus melihat quisionernya. Penyusunan quisioner jelas akan berpengaruh kepada hasil atau jawaban responden. Bukan tidak mungkin quisioner disusun sedemikian rupa sehingga responden tertuntun untuk menjawab sesuai yang diinginkan interviewer. Dan satu hal yang penting, si penyelenggara survey sendiri menyebutkan bahwa tingkat kepercayaan hanya mencapai 95 persen, angka yang masih jauh dari maksimal.

Tapi apresiasi yang tinggi saya berikan kepada teman teman di lembaga tersebut sebagai awal dari sebuah proses positif menuju dialektika politik yang maju dan demokratis di ranah minang.

Salam

BOBY LUKMAN PILIANG
(Tim Kampanye MARLIS - ARISTO)