Wednesday, December 15, 2010

Karengkang. Mada, Kareh Angok

Teman saya diwaktu kecil, namanya Ardian Hamdani, SH, yang bekerja sebagai sebagai staf ahli anggota Fraksi Partai Demokrat di DPR-RI sana menyebut saya “Karengkang”. Ia menyebut itu dulu waktu saya kecil, waktu kami berdua sepermainan di dekat rumah. Saya tentu saja membalas dengan sebutan khas anak kecil. Saya sebut Dhani dengan sebutan Kareh Angok.

Karengkang dan Kareh Angok itu tidak jauh bedanya, keduanya sama sama bisa diartikan sebagai keras kepala, tidak mau diajak kompromi apalagi mendengarkan masukan/kritik dari orang lain.

Dhani tentu tidak asal menyebut saya karengkang, maklum dia tahu saya lahir bathin, sejak kecil kemi berkawan, Selain, Dhani, gank kami di waktu kecil juga ada Thomas, Rony, dan Ricky. Yang terakhir sudah tidak ada kabarnya, karena memang selain dia lebih berada dari kami, orang tuanya melarang Ricky bermain dengan kami karena alas an status social pada waktu itu. Ricky orang kaya, sementara kami orang semenjana kalau tidak mau disebut miskin dan papa.

Kembali ke kata Karengkang, kami adalah anak anak karengkang itu. Namun Ke-Karengkang-an kami itulah yang membuat kami menjadi seperti ini. Dhani jadi pengacara dan staf ahli anggota DPR, Thomas jadi Fotografer handal anggota di AFP (Asosiasi Foto Penganten), Rony bekerja di Batam dan saya bekerja sebagai Wartawan.

Penggunaan kata Karengkang juga sering saya dengar dari ibu saya yang marah karena ulah saya yang agak pemalas dan membangkang. Hingga tepatlah menurut saya, penggunaan kata karengkang sangat pas untuk mempresentasikan kekesalan kita pada anak kecil yang tidak menurut perintah atau berhenti jika dilarang.

Tapi tepatkah jika kata kerengkang kita sebutkan pada orang dewasa atau orang yang sudah sepuh. Rasanya tidak, meski kadang perlu juga karena kita sudah kehabisan kata kata untuk melarang orang tua melakukan apa yang tidak sepatutnya mereka lakukan.

Terkait itu, saya jadi teringat dengan hal yang saat ini tengah terjadi di ranah minang. Bahkan di status Facebook saya beberapa waktu lalu, saya membuat quote bahwa saat ini Ranah Minang sudah berubah menjadi ranah pertempuran antara orang tua karengkang melawan anak - anak muda nakal. Kenapa saya tulis seperti itu. Karena saat ini tengah marak terjadinya penolakan pelaksanaan Kongres Kebudayaan Minangkabau (KKM) yang digagas oleh Gebu Minang yang sudah sejak berbulan lalu ditolak oleh masyarakat melalui elemen elemennya seprerti LKAAM, Bundo Kanduang, DKSB, dan bahkan media juga member porsi yang berlebih pada aksi penolakan ini.

Kongres ini tolak disana sini, di undur entah sudah berapa kali, sudah di perangin perambunkan segala, mungkin diasapkan saja yang belum, namun tetap saja Kongres akan dilaksanakan. Jika tidak didemo, Insya Allah hari ini sampai besok siang/malam akan berlangsung Seminar Kebudayaan Minangkabau di Best Western Basko Hotel di Padang. Namanya berubah dari Kongres menjadi Seminar atas izin dan kearifan Walikota Padang Dr. Fauzi Bahar. Sebab, kata Pak Wali, daripada ditolak disana sini, tak baik nanti diliat orang, jadikan sajalah Kongres itu sebagai Seminar.

Artinya, kita tidak perlu membuat resolusi atau keputusan yang mengikat, namun cukup semacam membuka wacana dan membuat rekomendasi saja untuk kemudian diserahkan pada lembaga berwenang. Sebab tidak ada kuasa apalagi kewenangan dari sebuah LSM seperti Gebu Minang untuk menghasilkan resolusi yang mengatur kehidupan dan tataran adat masyarakat Minangkabau.

Namun budayawan Darman Moenir dalam note di akun Facebooknya menuliskan bahwa ternyata atas informasi dari koleganya Drs. Yulizal Yunus, M.Ag, undangan acara hari ini yang tadinya berjuluk Seminar berubah menjadi Kongres. Sungguh, demi Tuhan Yang Maha Kuasa, saya heran, dan saya kembali teringat Dani yang pernah menyebut saya Karengkang dan saya balas dengan Kareh Angok.

Jika benar undangan dan acara hari ini berubah menjadi Kongres, saya mau tanya pembaca, apakah patut kita gunakan kata Karengkang untuk menyempurnakan kekesalan kita pada orang orang yang tidak mau mendengarkan kritik dan masukan. Jawab dalam hati sajalah…malu kita pada orang yang bukan Minang apalagi dia urang Sumando.***

Tulisan dikirim ke Haluan Minggu karena saya punya kolom khusus di edisi minggu Harian Haluan


mereka yang koment di FB


Femmy Sutan Bandaro
Eril Anwar
Muhammad Ibrahim Ilyas
Early Rahmawati
Ust-kj Jumin
FriendYusri Zal

Komen---->
Firdaus Hb Indak bautak !!! Ha.ha.ha...lapehkan berang tu sadono...bia lapang kapalo. Jan berang bakapanjangan sajo.
December 11 at 3:46pm · Like

Boby Lukman Piliang Heheheh...habih kato kato lai Da...paniang wak...Lai sehat Da...dima kini...
December 11 at 3:47pm · Like

Emeraldy Chatra Loro Ciek nan jadi angan2 diambo kini.Adolah handaknyo peserta kongres bersampul seminar tu nan maraso dikicuah, sudah tu mereka protes karano dianggap urang bodoh dek panitia. Kok dapek handaknyo sudah tu mereka rami-rami pai sambia malapeh kantuik sagadang-gadangnyo arah ka SC nan, kecek engku Firdaus, "indak bautak" tu.
December 11 at 3:55pm · Like

Boby Lukman Piliang Hua ha ha ha...AAAAAAAAAAAAAAMMMMMMMMMMMMMMIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIIINNNNNNNNNNNNNNNN.......
December 11 at 3:56pm · Like

Doni Hendri ondehhh.. alah tamakan tulang pulo gaek ko komah
December 11 at 4:10pm · Like

Doni Hendri apaknyo kan kareh ka ikua antu iyo
December 11 at 4:18pm · Like

Silvia Erfan Ganti se karengkang tu jo kerangkeng bob..wkwkwkwk
December 11 at 4:38pm · Like

Nofend DeMarola Lare alah ambo jawab dalam hati sidi, sasuai saran sidi, tapi sidi kalah nampek e...
kwakakakaa
December 11 at 5:14pm · Like

Hilman Satria Ko kopi paste kato2 ayah ka bobo ko? Hahahahaha
December 11 at 5:47pm · Like

Asraferi Sabri ‎@Bob: Indak pernah awak bapikia bisanyo urang2 tu melakukan sesuatu yang tidak lain adalah menipu. bahaso urang awaknyo; mangicuah. Kalau karengkang atau kareh kapalo, masih bisa dipahami, tapi mangicuah di siang hari bolong, iyo indak tau awak ilmu apo nan dipakai urang2 tu.
December 11 at 7:01pm · Like

Muhammad Ruski emang angku karengkang, kareh angok bo.. tapi itulah diri kito dan peniggalan urang gaek salai warisan harto pusakao..
December 11 at 9:08pm · Like

Silfia Hanani Syafei Iya, si bobby LP, mada. Terutama gelitik penanya yang "nakal" kalau tidak mada "gelitik" penanya tidak akan di dengar, karengka paralu kawan
Sunday at 8:36am · Like

Ardian Hamdani bagi2lah honor tulisan Bob..namo kito basabuik di dalam tu mah..:)
Monday at 12:24pm ·












Wednesday, December 8, 2010

Antara Obama Jr, Gayus Tambunan dan Cinta Laura

Minggu ini, kita dibuat heboh oleh dua berita besar, menggemparkan, menyedihkan sekaligus mengharu biru. Saya sebut menggemparkan karena terbitnya beberapa foto di Koran Kompas yang memuat gambar seseorang yang sangat mirip dengan Gayus H Tambunan seorang pegawai Ditjen Pajak Kemenkeu tengah nyengir nonton pertandingan tenis WTA di Nusa Dua Bali.

Terbitnya foto foto itu tidak saja menyentak kita sebagai orang Indonesia yang tengah berada pada titik terendah dalam sejarah kepercayaan pada penegakkan hukum, namun juga menggelikan, dan membuat amarah memuncak (meski tidak sampai pada dorongan berbuat anarkis).

Gayus entah siapapun dia yang ada dalam foto itu, yang pasti dia telah berhasil membuat kita semakin sadar bahwa ada yang tidak beres di negara ini dan tentu saja kita menuntut "pemberesan" secepatnya dan dalam waktu yang sesingkat singkatnya. Tercatat pemberitaan tentang seseorang yang amat sangat mirip Gayus ini menyita perhatian kita.

Sosok lain minggu ini yang begitu menyita perhatian media adalah Barrack "Barry" Husein Obama Jr. Presiden Amerika Serikat yang ke 44 ini begitu lekat dalam ingatan orang Indonesia, pun sebaliknya, Obama seperti yang diakuinya adalah bagian dari republik ini. "Indonesia adalah bagian dari hidup saya," begitu kata Obama dalam pidatonya di Balairung Kampus UI Depok Kamis lalu. Obama dengan bahasa Indonesia yang masih lancar dan amat bersemangat berpidato dan tentang masa depan hubungan dan kerjasama Indonesia dengan negara yang dipimpinnya. Obama sekali lagi merasuki ruang ruang baca dan bahkan pribadi kita setelah pada tahun 2008 lalu menghentikan perlawanan John McCain seorang Republikan pada Pilpres AS.

Obama dan Gayus adalah dua kutub pemberitaan yang amat jauh berbeda, yang satu menjadi cerita dan buah pena kaum jurnalis karena kehebatannya dalam mengelola opini publik di bidang politik, yang satu lagi menjadi buah cerita dan pena karena "kehebatannya" menumpuk kekayaan hingga puluhan miliar rupiah di usia yang masih sangat muda. Obama dan Gayus telah menjadi ikon pemberitaan dan fenomenal di dunianya masing masing.

Obama Jr, seorang ayah dua putri, pemimpin negara adidaya, kehadirannya di tunggu publik sejak lama, setidaknya dua kali meng-cancel kunjungan ke Indoneisa dan dimaafkan, adalah bukti bahwa kedatangannya (kembali) ke Indonesia amat penting artinya. Beda dengan Bush Jr, pendahulu Obama, kedatangan Barry yang lengkap dengan keramahannya dan juga "Ke-Indonesia-anya membuat kita tertawa lepas, senang dan juga terharu (maupun pura pura) bahwa ia masih sedikit Indonesia. Obama bahkan memakan bakso, sate, kerupuk emping dan mengenang Sarinah dan Menteng Dalam untuk membuktikan itu bahwa ia masih menjadi bagian dari anak Jakarte. kita bangga dan bertepuk senang karenanya.

Lain halnya dengan Gayus, lengkapnya Gayus Halomoan Tambunan, anak muda yang sekilas terlihat cengengesan, tapi kaya raya itu telah membuat kita geram, marah dan begitu benci tidak hanya kepadanya, tapi juga kepada pengelola negara ini. Gayus telah menjungkir balikkan semua kepercayaan kita yang memang telah miring kepada aparat hukum, penyelenggara negara lainnya. Gayus juga telah meruntuhkan puing puing kepercayaan yang kita pertahankan sedemikian kuatnya, namun ia dengan menjentikkan jari meruntuhkan semuanya dalam sekejab. Kita geram dan memaki sejadi jadinya.

Sejenak marilah kita lupakan Gayus, Obama, atau duka lara akibat letusan Gunung Merapi di Jogja, Tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai atau Banjir Bandang di Wasior Papua Barat, kita sejenak berpaling ke Cinta Laura. A ha, kenapa Cinta Laura, apa hubungannya antara Cinta Laura, dengan Obama, atau Gayus ?. Memang tidak ada hubungannya, Cinta Laura meski berbapak bule, bapaknya bukan American, atau ibunya bukan dari marga Tambunan seperti marga bapaknya Gayus. Cinta Laura menjadi menarik saya bahas karena Obama Jr.

Ya, Presiden AS yang anak Menteng Dalam itu begitu fasih berbahasa Indonesia, ucapannya seperti "Assalamualaikum", "Selamat Pagi", "Selamat Sore", "Terima kasih" dan bahkan "Pulang Kampung Nich" atau "Indonesia adalah bagian dari diri saya", dan tentu saja kalimat pamungkas, "Saya ingin mengungkapkan", memperlihatkan betapa ia masih Indonesian meski menjadi Presiden bagi jutaan anak kemenakan "Abang Sam".

Obama tidak seperti Cinta Laura yang dengan pronounce-nya terdengar aneh di telinga kita. Taruhan, jika Obama kita suruh bertanding pidato dalam bahasa Indonesia melawan Cinta Laura, saya yakin Obama lebih lancar berbahasa Indonesia dibanding si artis kemarin sore itu.

Lihat dan dengarkan suara Cinta Laura di TV, atau suaranya ketika menyanyi, awww, aneh benar bunyinya. Saya hanya berdoa semoga Cinta Laura mendapatkan guru bahasa Indonesia yang top dan hebat dan bukan guru bahasa Inggris yang pandir dan sok british. Semoga.

Sejenak saya juga merasa risih dengan sebagian besar kawan kawan yang saya jumpai, berbicara dalam bahasa Indonesia yang diselingi beberapa kosa kata Inggris, mereka menggunakan kata "at least", "I beg your pardon" atau kata kata lain yang tentu saja diucapkan dengan lidah melayu yang dipaksa berbahasa Inggris. Menangis rasanya jika mengingat itu.

Sok benarlah kita rasanya, orang Indonesia, berbicara dalam bahasa Inggris kepada sesama orang Indonesia. Semoga kita tetap menjadi orang Indonesia dalam keseharian kita yang dibuktikan dengan tingkah laku dan pola bicara.

Semoga para pemuda yang bersumpah pada 28 Oktober di tahun 1928 lalu di gedung Stovia tidak mengutuk kita karena sok British seperti ini. Amiin.

Sinetron...



Suatu hari sambil bagarah saya katakan pada istri saya, saya akan mengundang ustad dan jemaah masjid di dekat rumah untuk mau datang kerumah kami besok malam seusai Shalat Isya. “Saya mau mandoa salamaik”, itu yang saya katakan pada istri saya. Ia heran bukan kepalang, lalu dengan muka wajah serius dia bertanya kepada saya, selamatan untuk apa, memangnya saya dapat proyek baru atau berhasil, atau ada keuntungan lain hingga kita perlu menggelar selamatan. Saya langsung menjawab Selamatan atas berhentinya tayang sinetron yang tiap hari ditunggu dan ditontonya.

Yah, istri saya sangat menyukai sinetron, opera sabun yang bagi saya aneh, irasional dan tentu saja mengada-ada. Kami bahkan sampai berebut remote TV kalau sudah masuk pada jam tayang sinetron itu. Saya menyukai menonton siaran berita, talkshow atau dialog, sementara istri saya hampir setiap malam tidak mau melewatkan tayangan sinetron di tv swasta kesayanganya.

Kembali ke soal sinetron, saya sungguh tidak mengerti, apa yang ada dikepala penulis skenario atau mungkin produsernya, tayang setiap hari,tapi tidak ada satupun poin dari sinetron itu yang bisa dijadikan bahan untuk dicontoh, atau tokohnya dijadikan tauladan atau apa sajalah. Cuma ya itu tadi, selalu saja penontonnya ramai, bahkan hasil poling ACNielsen (lembaga pemeringkat siaran TV) yang saban Rabu sore merilis hasil polingnya menyebutkan sinetron yang sering ditonton oleh istri saya dan orang lain itu menempati peringkat yang cukup tinggi dengan audience share yang cukup tingi.

Saya tidak hendak dan tidak akan menyebutkan judul sinetron itu, takut saya, karena pasti banyak yang akan marah. Maklumlah, survey kecil kecilan saya di sekitar rumah membuktikan bahwa 7 dari 10 ibu ibu menjadi penonton sinetron itu setiap hari dan hanya 3 yang menonton sambil tidur tiduran. Jadi, jelas saya tidak mau digebuk 7 orang ibu ibu yang amat bernafsu untuk mengantam saya dan 3 orang yang ogah ogahan tadi. Alamat sengsara saya kalau itu terjadi.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan sinetron, dulu ketika TV swasta belum ada, TVRI sudah pula menyiarkan sinetron, saya ingat judulnya, “JENDELA RUMAH KITA” atau “RUMAH MASA DEPAN” tapi tidak setiap hari, hanya sekali sepekan dan ceritanya sangat bermutu. Memang ada tokoh jahat, ada pula tokoh baik hati, ada tokoh yang mengalasau se lalu ada pula tokoh yang serius.

Tapi kini dengan banyaknya TV swasta dimana hanya 2 stasiun TV yang mengklaim sebagai TV berita, maka maraklah ruang ruang keluarga kita dengan tayangan sineteron itu. Judulnya, jangan ditanya, bamacam, mulai dari yang pakai bahasa Indonesia, sampai yang sakarek ula sakarek baluik. Bahkan kalau kita akumulasikan jam per jam tayangan sinetron di televise swasta kita, mungkin lebih dari 80 persen tayangan adalah sinetron dan sisanya musik serta hanya kurang dari 10 persen yang bermuatan informasi pengetahuan.

Saya jadi ingat dengan Sinetron Rumah Masa Depan yang digarap oleh sutradara Ali Sahab. Seorang pekerja film jempolan yang mampu menghadirkan tontotan berkualitas bagi masyarakat meski hanya sekali dalam sepekan. Rumah Masa Depan, judulnya memang seperti mimpi, tapi isinya adalah kenyataan yang terjadi disekitar kita. Skenario yang membumi, tokoh yang tidak (sangat) kejam, meski jahat, namun tidak pula ada tokoh yang sangat baik meski berhati mulia.

Tapi lihatlah sinetron saat ini, peran orang jahat digambarkan sangat kejam, bahkan cenderung psikopat, lalu tokoh baiknya, digambarkan selalu teraniaya, kalah melulu dan menangis terus. Sinetron saat ini seperti mimpi, kekayaan tokohnya digambarkan sangat besar, perusahaan dimana mana tanpa dijelaskan kekayaan itu (perusahaan) berupa dan bergerak dibidang apa serta yang disajikan justru konflik perebutan harta tanpa jelas harta apa yang dijadikan obyek pertengkaran.

Saya jadi berpikir, dengan kemajuan zaman, mudahnya mengakses informasi serta ruang ruang diskusi yang kian terbuka lebar, kenapa kreatifitas kita makin rendah mutunya. Hari ini, setidaknya saya mendapatkan jawaban bahwa nafsu untuk berbuat telah mematikan urat kreatif kita dan yang tinggal hanya rutinitas kejar tayang.

Jadi kalau tidak bisa membeli mimpi menjadi orang kaya, baik hati dan pemaaf, maka buatlah sinetron sebanyak banyaknya, karena mimpi jauh lebih enak daripada bangun dan melihat kenyataan. Sakit.***

---terbit di HARIAN HALUAN Padang - edisi Minggu 5 Desember 2010---

Sia Sia



Di ujung waktu...
pada waktu yang telah kita sepakati...
aku mengais sisa hadirmu...
sia sia...
tak berdaya...

(BLP - Jogja 2010)